Wednesday, March 28, 2007

KETIKA CICI LAPAR


Cici Kelinci baru saja bangun tidur. Sambil menggeliatkan tubuhnya, dia duduk bermalas-malasan di kursi teras.

“Hei…Cici, kita jalan-jalan yuk, sekalian mencabut wortel!” ajak Lini Kelinci, tetangganya.

“Kau saja ya, Lini!” Cici menolak, “ibuku pasti sudah menyiapkan wortel untukku.”

Lini memandang sebal pada Cici dan berlalu meninggalkan Cici yang masih setengah mengantuk.

“Hmm….aku lapar,” gumam Cici.

Lho..kok di meja tak ada makanan? Cici bingung dan segera mencari ibunya. Tapi ibu tak ada di rumah.

Perut Cici semakin lapar. Terdengar bunyi keriuk-keriuk di perutnya.

“Aku harus mencari makanan,” pikir Cici lalu keluar rumah.

“Hei…Cici, tak biasanya kau bangun pagi?” goda Yummy Ayam.

“Aku lapar, Yummy,”ujar Cici pelan, “tapi sepertinya ibuku lupa meninggalkan wortel untukku.”
“Kau kan bisa mencabut wortel sendiri, Cici. Kebun wortelnya di ujung danau sana!” tunjuk Yummy.

Cici melangkah pelan menuju kebun wortel.

“Wah..kalau aku berjalan lambat seperti ini, pasti siang nanti aku bisa sampai ke kebun,” pikir Cici.

Dan…satu…dua..tiga..…Cici mulai berlari.

“Cici, akhirnya kau ke sini juga,” sapa Lini sesampainya Cici di kebun wortel.

Lini tampak sedang menggigit sebuah wortel besar yang segar,”ayo, Ci, wortelnya enak dan manis loh!”

Cici sudah tak sabar lagi ingin mencicipi wortel yang menggiurkan itu.

“Wah…..enak sekali ya makan wortel di kebun!” cetus Cici setelah mencabut dan menggigit sebuah wortel.

“Tentu saja, karena kau lapar dan badanmu bugar setelah kau lari tadi,” ujar Lini sambil tertawa.

Tiba-tiba Cici melihat ibunya sedang memasukkan beberapa wortel ke dalam sebuah keranjang kecil.

“Ibu!” panggil Cici.

“Oh..sayang, maafkan ibu ya. Ibu tadi bangun kesiangan dan terburu-buru berangkat ke kebun wortel, sampai lupa memberitahumu,” kata ibu lembut,” kau pasti lapar ya?”

“Hehe…sekarang sudah kenyang,” ujar Cici tertawa,” Bu, mulai besok, Cici saja ya yang mencabut wortel di kebun. Ternyata bangun pagi, lari pagi dan mencabut wortel itu sungguh mengasyikkan!”

@@@

Tuesday, March 27, 2007

PULAU BIRU

Pagi yang berangin, namun tak mengurungkan keinginan Peni Penyu dan Yuyu Penyu untuk bermain. Lihatlah, sekarang saja mereka sudah asyik sekali berenang di lautan luas.

“Heii….lihat, Yuyu, sepertinya itu pulau yang indah,” seru Peni,”kita ke sana yuk!”

Tak jauh di depan mereka, memang tampak sebuah pulau berwarna biru.
Peni dan Yuyu pun berenang dengan cepat untuk segera mencapai pulau biru itu.

“Tapi loh….pulaunya koq begitu sepi ya, Peni?” tanya Yuyu heran ketika mereka sudah mendarat di atas pulau biru itu.

Yuyu mengamati sekelilingnya. Yah…sejauh matanya memandang, tak ada satu pun mahluk lain di pulau yang hamparan daratannya berwarna biru lembut itu. Cuma mereka berdua saja.

“Ternyata kitalah yang pertama kali menemukan pulau ini, Peni!” seru Yuyu senang, “sungguh pulau yang indah dan tempat yang asyik untuk beristirahat.”

Angin sepoi-sepoi membuat mata Peni dan Yuyu jadi mengantuk.

“Hoaahh…..tidur dulu aah…” Yuyu menguap.

Tak lama kemudian, Peni dan Yuyu pun terlelap.

Tik…tik…tik…titik-titik air jatuh membasahi tubuh Peni dan Yuyu, membuat tidur mereka terganggu.

“Oh…hujan…” keluh Peni sambil membuka sebelah matanya dengan malas. Rupanya Yuyu pun sudah terbangun lebih dulu.

Tapi….titik…titik…air semakin deras.

“Heii….lihat Peni, ini bukan hujan! Tapi titik-titik air ini bersumber dari air mancur di belakang kita!” seru Yuyu.

“Asyik….”Peni dan Yuyu gembira lalu bermain di bawah pancuran air.

Selang kemudian air mancur berhenti. Dan…nah…loh! Pulaunya bergerak-gerak. Tubuh Peni dan Yuyu menjadi oleng dan terpeleset jatuh ke laut.

“Awww..!”Peni dan Yuyu menjerit kaget.

“Peni, Yuyu…kalian kenapa?” terdengar ada yang bertanya.

Hoho…tampak Pupu Ikan Paus sedang memandang kebingungan pada Peni dan Yuyu.

“Astaga….ternyata kami tidur di punggungmu, Pupu!” seru Peni malu.

“Iya, kami kira…punggungmu itu sebuah pulau yang ada air mancurnya,” ujar Yuyu.

“Haha…air mancur itu merupakan semburan air dari hidungku ketika aku menghembuskan nafas!” Pupu menjelaskan sambil tertawa geli.

@@@


Tuesday, March 06, 2007

CAHAYA TERANG UNTUK BIBI TITI

Mombi No. 12/ 14 Maret 07
(Yang di Mombi dah aq edit, lebih singkat geto loh....;))

Seperti biasa, setelah makan malam, Bibi Titi Tikus akan duduk di kursi bludru merah hatinya yang empuk dan bersiap-siap merajut. Bibi Titi Tikus memang senang sekali merajut walaupun matanya sudah tidak terlalu jelas bila malam yang hanya diterangi oleh beberapa lilin.

Tiba-tiba....

”Aduh....lililn-lilinnya habis,” seru bibi Titi Tikus kesal dan kebingungan, ”padahal malam ini aku harus menyelesaikan merajut syal ini!”

Sambil mengeluh, Bibi Titi duduk termenung di depan jendela, ” Ah...Tata pasti kecewa kalau syalnya belum selesai besok pagi,” gumam bibi Titi.

Yah...syal yang akan dirajut oleh bibi Titi malam ini adalah pesanan Tata Tikus, keponakan bibi Titi. Sekarang bibi Titi tidak tahu harus bagaimana. Untuk membeli lilin, dia harus ke pasar yang jaraknya lebih dari satu kilo meter. Bagaimana mungkin dia bisa mencapai ke pasar itu karena sekarang saja bibi Titi sudah merasa sangat kelelahan untuk berjalan.

”Bibi Titi, kenapa sedih begitu?” tiba-tiba ada yang menyapa bibi Titi.

Bibi Titi mendongakkan kepalanya. Oh...Ternyata ada Kuna Kunang-kunang yang sedang berputar-putar di halaman rumah bibi Titi dan memandang bingung

”Aku kehabisan lilin, Kuna, ”ujar bibi Titi, ”padahal aku ingin merajut malam ini.”

Kuna tampak berpikir sejenak. Ia ingin sekali menolong bibi Titi yang selalu baik padanya.

”Tenang, bibi, mungkin cahaya tubuhku bisa membantu bibi,” seru Kuna.

Bibi Titi mengamati tubuh Kuna yang memang tampak bercahaya. Tapi...

”Kuna, cahaya dari tubuhmu tidak cukup terang,” ujar bibi Titi, ”kau tahu kan, mataku sudah agak rabun.”

Kuna mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti, ”sudahlah, jangan khawatir, bibi,” hibur Kuna, ”aku pasti bisa membantumu, tunggu ya, bibi!”

Kuna pun melesat pergi meninggalkan bibi Titi yang kini menunggu Kuna dengan penuh harap. Hatinya bertanya-tanya apa gerangan yang akan dilakukan oleh Kuna. Selang kemudian tampak kerlap kerlip cahaya menerangi halaman rumah bibi Titi.

”Halo bibi...”terdengar suara riuh menyapa bibi Titi.

Hoho...rupanya Kuna mengajak teman-temannya datang menemani bibi Titi.

”Nah.....bagaimana bibi, sekarang sudah cukup terang, bukan?” tanya Kuna dengan semangat, ”kita akan menemani bibi sampai bibi selesai merajut.”

Bibi titi memandang Kuna dan teman-teman kunang-kunangnya yang lain dengan senang. Tentu saja! Cahaya yang berpendar dari tubuh Kuna dan teman-temannya lebih terang dari beberapa batang lilin.

”Terima kasih ya, anak-anak manis..”seru bibi Titi gembira.

Sambil merajut, bibi Titi bernyanyi dengan suaranya yang merdu sebagai tanda terima kasih untuk Kuna dan teman-temannya.
$$$



Monday, March 05, 2007

BERMAIN SALJU

Sekarang sedang liburan panjang. Wawa Walrus dan Kowa Walrus gembira sekali. Mereka bisa bermain di luar rumah sepanjang pagi sampai sore dan tidak perlu mengerjakan PR seperti biasanya. Yah, kalau sekolah libur, kalian pun diizinkan untuk bermain, bukan? Begitu juga dengan Wawa dan Kowa. Ibu-ibu mereka mengizinkan mereka mengisi hari libur dengan bermain sepuasnya.

Seperti siang ini. Wawa dan Kowa sedang berjalan di salju yang dingin. Oh ya, Wawa dan Kowa tinggal di kutub utara. Karena hidup di daerah yang diselimuti salju, Wawa dan Kowa tidak pernah merasa kedinginan, loh. Karena seperti Walrus lainnya, Kowa dan Wawa memiliki kulit yang tebal. Di bawah kulit mereka terdapat lapisan lemak yang disebut blubber, dan inilah yang menjaga Wawa dan Kowa selalu merasa tetap hangat. Jadi kalian tidak usah khawatir kalau Wawa dan Kowa akan menjadi sangat kedinginan, ya!

“Wawa, bagaimana kalau kita bermain melempar bola-bola salju?” usul Kowa.

“Ayo!” Wawa setuju, “siapa tahu nanti teman-teman kita yang lain tertarik untuk ikut bermain.”

Wawa dan Kowa pun asyik mengeruk salju dengan tangan mereka dan mereka bentuk menjadi bola-bola kecil.

“Ayo lempar!” seru Wawa pada Kowa lalu melempari bola salju ke arah Kowa.

Buk! Tubuh Kowa terkena lemparan bola salju Wawa. Kowa siap membalas melempar bola saljunya ke Wawa. Wah…lihatlah, seru sekali permainan melempar bola salju antara Wawa dan Kowa.

“Aku ada usul, Kowa!” teriak Wawa sambil terengah-engah, “bagaimana kalau kita melempari gundukan salju itu, siapa yang bisa melempar tepat di gundukan salju itu jadi pemenangnya ya!”

Wawa menunjuk timbunan salju besar di depannya. Kowa yang sudah siap melempari Wawa tampak berpikir sejenak.

“Okee…siapa takut…!” seru Kowa yakin, “siapa yang kalah harus menyerahkan satu buah komiknya pada yang menang ya.”

Wawa setuju karena ia yakin akan memenangkan lomba melempar bola salju itu.
Dan permainan melempar bola salju menjadi lebih asyik dan seru. Tapi.. Oow..oww…. berkali-kali lemparan bola salju mereka meleset! Wawa dan Kowa semakin penasaran dan berusaha ingin jadi pemenangnya.

“Hop…!” teriak Kowa, “aduh…susah juga ya!”

Wawa tersenyum geli dan bersiap melempar bola saljunya.

“Horreeee……..aku berhasil!” seru Wawa gembira, “asyik aku menang!”

Kowa tersenyum kecut melihat Wawa yang terlonjak gembira. Terbayang olehnya satu komiknya harus direlakannya untuk diberikan pada Wawa. Tapi tak mengapa, bukankah dia sendiri yang membuat perjanjiannya, bukan?

Tapi heeeeiii…….

“Siapa yang melempari bola salju padaku!” teriak satu suara.

Wawa dan Kowa terdiam. Muka mereka tampak begitu pucat ketika mereka melihat bagaimana timbunan salju yang mereka lempari tadi bergerak…semakin tinggi….dan berjalan mendekati mereka.

“Polla…Pollar Bear!” jerit Wawa dan Kowa kaget dan ketakutan.

Polla sudah semakin dekat pada Wawa dan Kowa. Muka Polla tampak sangat kesal dan marah.

“Kalian yang melempari aku ya!” tanya Polla dengan suara keras.

“Maaf, Polla, aku…yang… melempari kamu ….dengan…. bola salju… itu,” ujar Wawa tersendat-sendat, “kupikir kau timbunan salju yang besar.”

“Aku juga minta maaf, Polla,” kata Kowa juga sambil menunduk, “kami tak menyangka itu kau, habisnya bulumu putih seperti salju.”

Polla tampak mengamati kedua temannya yang masih ketakutan.

“Hmm…kupikir kalian tidak menginginkan aku di sini,” kata Polla dengan suara yang tidak bernada tinggi lagi, “aku tadi ketiduran.”

“Terima kasih, Polla,” ucap Wawa lega,

“Iya, Polla, lega kau tidak marah pada kami,” tambah Kowa, “oh ya, mau ikut main tidak?”

Tiba-tiba Polla tampak menepuk dahinya,”astaga! Aku harus menjemput nenekku dari rumah tanteku,” seru Polla, “untung kalian membangunkan aku, kalau tidak, nenekku bisa mengomel panjang padaku, terima kasih ya!”

Polla lalu berlari sambil melambaikan tangannya pada Wawa dan Kowa yang tertawa geli melihat ulah Polla.

“Yah sudah, sekarang kita main lagi yuk,” usul Kowa.

“Tapi tidak melempar bola salju lagi!” cetus Wawa, “kita membuat boneka salju saja ya.”

Dan lihatlah….sebuah boneka salju yang besar dan tampan tampak menjulang di atas hamparan salju putih. Lho..koq boneka saljunya mirip dengan Polla ya? Hahaha…

KADO UNTUK LABI

Mombi SD edisi Maret 2007

Asyik…Kiki Tikus senang sekali mendapat undangan dari sahabatnya, Labi Laba-laba. Hari ini Labi berulang tahun dan mengadakan pesta kecil-kecilan di rumahnya. Bersama Mumu Musang dan Sisi Kucing, Kiki menuju ke rumah Labi dengan bersenandung riang.

”Ki, isi kadomu itu apa?” tanya Mumu penasaran. Mereka bertiga tampak menenteng kado-kado masing-masing.

”Hihihi...rahasia dong, Mu, semoga saja Labi suka,” ujar Kiki, ”kalau kado kalian apaan?”

”Rahasiaaa dooong......”jawab Mumu dan Sisi kompak sambil tertawa.

Tak lama kemudian, Kiki dan teman-temannya sudah sampai di beranda rumah Labi. Woow...lihatlah rumah Labi berhiaskan balon dan pita warna-warni.

”Terima kasih sudah datang ya,” sambut Labi gembira, ”silahkan makan kue sepuasnya.”

Kiki memandang sekeliling ruangan. Hmmm.....rupanya Labi telah menyiapkan banyak sekali makanan yang lezat. Lihat saja, Kiki langsung menyantap sepotong kue tart dan semangkuk es krim. Sedaaap!

Selang kemudian tibalah acara buka kado. Kiki, Mumu dan Sisi duduk di sofa yang empuk mengeliling Labi. Labi mulai meraih salah satu kado. Itu kado dari Mumu. Sreet...sreet......

”Wah...topi yang cantik,” seru Labi sambil memakai topi bundar berwarna merah yang bagus sekali di kepalanya. Mumu tampak gembira mendengar pujian dari Labi.

Labi kini merobek bungkus kado berwarna kuning. Itu kado dari Sisy. Muka Sisi tampak tegang,

”Terima kasih, Sisi. Ini syal yang sangat halus,” ujar Labi senang. Dililitnya syal biru yang cantik itu di lehernya.

Kini giliran kado dari Kiki yang dibuka oleh Labi. Kiki tersenyum percaya diri, ”mmm....Labi pasti suka kadoku,” gumam Kiki.

Tapi tiba-tiba Kiki tersadar sesuatu, ”oh Labi, aku mohon...kadoku jangan dibuka sekarang ya!” seru Kiki.

”Wah....nggak bisa begitu dong, Ki,” cetus Mumu dan Sisi yang jadi sewot.

”Iya Ki, apa pun isinya aku pasti senang kok,” ujar Labi.

Kiki memandang Labi yang mulai merobek kertas pembungkus kadonya dengan cemas.

”Woooww...sepatu-sepatu ini bagus sekali!” seru Labi,”kenapa kamu malu, Ki?”

Kiki tertunduk,”Labi, lihatlah, sepatu itu cuma ada sepasang padahal kaki Labi kan ada delapan,” kata Kiki pelan, ”mestinya aku memberi empat pasang sepatu untukmu.”
Oh....Labi, Mumu dan Sisi jadi mengerti. Mereka tertawa terbahak.
”Aku lupa, kalau jumlah kaki kita tidak sama,”ujar Kiki.

”Hehe...tenang, Kiki, tahukah kau, sepasang sepatuku sudah rusak,”seru Labi sambil menunjuk sepasang sepatu di kaki belakangnya, ”lihatlah, sepatu-sepatu ini sudah bolong-bolong kan?”
Labi lalu mengganti sepasang sepatunya yang rusak dengan sepatu berwarna coklat muda dari Kiki.

”Wooww.....keren,”Mumu dan Sisi memuji dan itu membuat Kiki tersenyum lega.
@@@

SERIAL VANYA, BIDADARI BADUNG

VANYA, SI BIDADARI BADUNG


Horree…..awan-awan putih menumpahkan tetesan airnya ke bumi. Ya, kini bumi akan menjadi sejuk karena bermandikan air yang segar. Vanya, si bidadari cilik tengah mengagumi kristal-kristal bening yang turun dengan deras ke bumi dari beranda rumahnya. Rumah Vanya berada di negeri Bidadari.

Tahukah kau di mana negeri Bidadari? Nah, coba kau tengadahkan kepalamu ke atas. Di antara gumpalan-gumpalan awan, tersembunyi sebuah negeri yang indah, negerinya para bidadari, seperti Vanya. Negeri Bidadari akan tampak lebih jelas bila hujan turun karena pada saat itu, angin akan behembus kencang ke negeri bidadari sehingga negeri bidadari akan bergeser menjauh dari gumpalan-gumpalan awan tebal yang menyelimutinya.

Satu hal yang paling Vanya suka hujan turun ke bumi adalah munculnya tangga warna-warni yang menghubungkan negerinya ke bumi. Anak tangga warna-warni itu terbuat dari tujuh helai selendang yang panjang sekali.dan bermula dari Istana Bidadari yang terletak di tengah-tengah negeri. Ratu Bidadari dan para dayang-dayangnya akan berkunjung sebentar ke bumi. Vanya tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Ratu Bidadari dan dayang-dayangnya di bumi, namun itu tidak penting baginya. Karena ketika tangga warna-warni itu muncul, siapapun diperbolehkan untuk bermain sejenak ke bumi. Oh iya, di bumi, tangga warna-warni itu biasa disebut pelangi.

“Vanya, pakai mantel yang tebal dan lekas masuk!” seru mama Vanya dari dalam rumah. Rumah Vanya indah sekali, bertingkat dua dengan beranda-beranda yang luas. Salah satu beranda yang paling nyaman terletak tepat di depan kamar Vanya yang tak kalah indahnya. Dinding-dinding rumah Vanya termasuk kamar-kamarnya berhiaskan motif bunga mawar merah tua yang cantik.

“Iya ma,” balas Vanya. Tapi Vanya tak lekas-lekas mengambil mantel. Dia malah duduk di kursi berbentuk bunga mawar merah muda sambil mendekap tangannya ke dadanya. Uggh…satu hal yang memang paling tidak disukai mama dari Vanya karena Vanya terkadang badung dan keras kepala.

“Vanyaa……!” terdengar ada yang memanggilnya. Oh… ada Diandra dan Charlotta tengah menuruni anak tangga warna-warni. Rupanya tangga warna-warni sudah muncul.

“Ayo main ke bumi!” ajak Charlotta gembira.

Vanya tidak menunggu lebih lama. Segera dia meloncat dari beranda rumahnya dan jatuh tepat ke anak tangga warna-warni.

“Astaga, Vanya, kau berani sekali!” seru Diandra kaget, “mestinya kau turun dulu dari beranda, kami kan bisa menunggumu!”

Vanya tersenyum bandel, “aku sudah tidak sabar, hehe..”

Diandra dan Charlotta Cuma geleng-geleng Kepala. Mereka sudah hapal betul sifat sahabat mereka yang badung ini. Tapi mereka suka bersahabat dengan Vanya, walau badung, tapi Vanya baik dan banyak akalnya. Kini dengan bersenandung riang mereka menuruni anak-anak tangga sampai ke sebuah danau yang indah di balik bukit hijau. Di sana sudah banyak teman-teman bidadari yang lain sedang bermain di danau dan berlari-lari riang di sela-sela pohon yang tinggi.

“Kita mandi di danau itu yuk,” ajak Diandra.

Charlotta setuju tapi Vanya menggeleng, “aku kedinginan, tadi lupa bawa mantel,” kata Vanya,” aku mau memetik bunga mawar hutan saja ya.”

“Ya sudah, nanti kau tunggu kita di pinggir danau itu ya,” ujar Charlotta.

Vanya mengangguk. Dia sudah tidak sabar ingin memetik bunga mawar yang harum dan cantik untuk menghiasi rumahnya. Hmmm….mama pasti gembira kalau aku bawakan sekeranjang bunga mawar, pikir Vanya gembira. Vanya lalu asyik memetik bunga-bunga mawar. Tanpa dia sadari, dia sudah terlalu masuk ke hutan. Memang, semakin ke dalam hutan, tambah banyak bunga mawar yang cantik dan beraneka warna.

“Ouww…aku lupa jalan pulang,” tiba-tiba Vanya tersadar dan panik. Di depannya terdapat jalan bercabang dua., “aduh, aku mesti memilih jalan yang mana?”

Vanya memilih jalan yang ke kiri. Tapi semakin jauh dia melangkah, hutan semakin rimbun. “Sepertinya bukan ini jalannya,” pikir Vanya lalu berbalik dan mengambil jalan yang kekanan.

Hari sudah gelap ketika akhirnya Vanya tiba di pinggir danau. Diandra, Charlotta dan teman-teman bidadarinya sudah tidak kelihatan. Oh…rupanya mereka sudah pulang ke negeri bidadari dan Vanya tinggal sendirian.

“Hiks…hiks….”Vanya tersedu di pinggir danau. Badannya semakin menggigil karena dingin dan rasa takut yang mulai merayapi hatinya. Suasana di sekitarnya tampak lengang. Vanya duduk di bawah sebatang pohon besar dan merapatkan tubuhnya yang semakin dingin di batang pohon.

“Hik..hik..aku tak akan bertemu dengan mama dan papa lagi,”isak Vanya,”aku menyesal karena selalu bermain sampai lupa waktu.”

Karena kecapaian, Vanya pun tertidur sambil meringkuk dengan air mata mengalir di pipinya yang terasa beku.

“Vanya….bangun!”

Vanya gelagapan. Ada sesuatu ayng mengguncang bahunya. “Toloongggg!” jerit Vanya spontan.

“Heii..Vanya, ini mama!”

Vanya membuka matanya. Tampak wajah mama yang lembut menatapnya. Vanya menoleh ke kiri dan kanan. Suasana memang agak gelap, tapi……

“mamaaaaa….!”Vanya berteriak gembira sambil merangkul mama,” mama menemukan Vanya di tepi danau ya? Mama membawa Vanya pulang?”

Mama tersenyum geli, “pasti Vanya mimpi ya?” tanya mama,”kamu itu tertidur di beranda. Ugh, tubuhmu dingin sekali Vanya, kamu tidak pakai mantel!”

Vanya tertunduk malu. Tiba-tiba…uhuk..uhuk…hatchii…., Vanya bersin dan terbatuk-batuk.

“Nah kan…..kamu sakit, ayo masuk ke kamar,gerutu mama, “dasar Vanya bandel!”

Vanya tersenyum. Lehernya memang sakit, tapi dia tidak terlalu sedih. Ternyata barusan dia bermimpi. Ugh…coba kalau tadi bukan mimpi? Hih…Vanya menggigil ketakutan mengingat mimpinya itu. Hmm…setidaknya mimpi itu bisa mengingatkan Vanya kalau esok-esok, turun hujan dan ada tangga warna-warni yang bisa membawanya berpetualang di bumi. Kalau kalian bertemu dengan Vanya, jangan kaget ya dengan kebadungannya. Tapi yang pasti, Vanya tetap bidadari yang baik hati dan cerdik koq.
***


Thursday, March 01, 2007

TIGA KOTAK PILIHAN


Di sebuah negeri hiduplah tiga orang kakak beradik. Mereka tinggal bersama kedua orang tua mereka di sebuah rumah di atas bukit. Si sulung bernama Kiya, anak tengah bernama Cinta dan si bungsu bernama Vanda.

Saat liburan sekolah tiba, ketiga kakak beradik itu minta izin pada orang tua mereka untuk ke kota. Dengan menyewa kereta kuda yang dikemudikan oleh Pak Piko tetangga mereka, mereka menuju ke kota. Di sana mereka bersenang-senang, makan di rumah makan besar, membeli baju dan buku-buku serta menonton lomba pacuan kuda yang diadakan oleh Raja Willy, penguasa negeri.

Setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan, mereka pun pulang. Di tengah perjalanan, tiba-tiba seorang wanita yang sangat tua menghentikan perjalanan mereka dan memohon izin untuk diberi tumpangan.

Ketiga kakak beradik itu tak keberatan. Wanita tua itu sungguh senang. Diperhatikannya ketiga kakak beradik itu. Mereka cantik-cantik sekali, pikirnya, namun tingkah mereka berbeda satu dengan lainnya. Si sulung yang mengenakan gaun paling indah tak henti-hentinya menyisir rambutnya yang indah sampai ke pinggang. Anak tengah sangat ceria dan menyapanya dengan ramah serta mengajaknya bercerita. Si bungsu sungguh serius, sedari tadi terus menekuni buku tebal yang dibelinya di kota.

Sampai di kaki bukit, wanita tua itu turun. ”Cucu-cucu, terima kasih telah mengizinkan nenek untuk menumpangi kereta kalian. Sebagai tanda terima kasih nenek mempunyai tiga kotak bewarna merah, kuning dan hijau.”

Ketiga kakak beradik itu memandang tak mengerti pada sang wanita tua itu. Wanita tua itu segera melanjutkan kata-katanya.

”Kotak merah adalah kotak kekayaan yang kelak pemiliknya akan memiliki harta berlimpah. Kotak kuning adalah kotak kepandaian, satu dari kalian akan menjadi orang terpandai di negeri ini dan menjadi penasihat kerajaan, dan kotak hijau adalah kotak cinta kasih, yang kelak pemiliknya akan menjadi orang yang dikasihi semua orang dan ibu yang sangat berbahagia. Silahkan kalian memilih kotak mana yang kalian inginkan.”

Sebagai anak pertama, si sulung merasa paling berhak memilih duluan. Dipilihnya kotak merah, kotak kekayaan. Si anak tengah mendapat giliran kedua, namun si bungsu takut kalau kakaknya memilih kotak yang diinginkannya.

”Kak, bolehkah aku yang memiliki kotak kuning?” tanya si bungsu. ”Aku ingin sekali menjadi penasihat kerajaan,” Katanya memohon. Si anak tengah mengangguk. Dia sangat mencintai kedua saudaranya. Tentu saja dia meluluskan permohonan adiknya, dan tetap bersenang hati mendapatkan kotak hijau, kotak cinta kasih.

Tahun berganti tahun. Ketiga kakak beradik itu sudah beranjak dewasa dan kini mempunyai kehidupan masing-masing. Si sulung telah menjadi saudagar yang sangat kaya. Si bungsu menjadi orang terpandai di sepenjuru negeri dan diminta oleh raja Willy menjadi penasihat kerajaan. Dan si anak tengah yang kini menetap di kota bersama orang tua mereka tetap hidup sederhana, sifatnya yang pengasih membuatnya mendirikan sebuah rumah cinta kasih, rumah tempat anak-anak yatim piatu untuk bernaung dan mendapat kesempatan bersekolah.

Suatu hari, Raja Willy dan Ratu Belinda berniat mencarikan calon istri untuk Pangeran Arthur, putra mereka yang pemalu. Kelak putra mereka itu lah yang akan menggantikan raja Willy yang sudah tua untuk memimpin kerajaan. Namun Sang Raja dan Ratu bingung dengan tingkah Pangeran Arthur yang tidak pernah memiliki seorang pun teman wanita.

Sebagai panasihat kerajaan, Vanda memberikan nasihat pada sang raja untuk mengadakan sayembara saja. Di benaknya tersusun rencana untuk mengatur sayembara yang akan dimenangi olehnya. Namun rupanya Ratu Belinda punya rencana lain. Diam-diam dia membicarakan idenya kepada Raja Willy dan Pangeran Arthur.

Akhirnya rencana Ratu Belinda dilaksanakan. Sang Pangeran dan Ratu menyamar menjadi orang biasa. Godda, si penyihir kerajaan membantu mereka dengan menyihir rupa dan pakaian mereka hingga tampak seperti pengemis. Dan berkelanalah Ratu, Pangeran dan penyihir Godda ke seluruh penjuru negeri untuk mencari pendamping yang tepat untuk sang Pangeran.

Hari berganti hari, namun calon yang tepat belum mereka dapatkan. Gadis gadis negeri yang mereka temui kebanyakan berpolah sombong dan bersikap tak peduli. Gadis pertama yang mereka temui adalah Vanda. Namun si anak bungsu yang tengah memikirkan tentang sayembara apa yang akan diselenggarakan oleh sang Raja itu tak menggubris mereka. Sang Ratu, Pangeran dan penyihir Godda pun melanjutkan perjalanan.

Di tengah perjalanan, mereka berencana menemui Kiya, saudagar muda kaya raya yang terkenal. Namun Kiya, si anak sulung itu tak mau menemui mereka, dia hanya memberikan beberapa keping emas kepada mereka melalui pelayannya.

Dalam keputusasaan tak akan menemukan gadis yang tepat, sang Ratu, Pangeran dan penyihir Godda beristirahat di bawah sebatang pohon. Tiba-tiba datang seorang gadis muda menghampiri mereka dan mengajak mereka ke rumahnya. Dalam rumah yang sederhana itu tampak oleh mereka begitu banyak anak-anak menyemaraki rumah tersebut. Gadis muda yang ternyata adalah Cinta si anak tengah itu rupanya memahami kebingungan tamu-tamunya.

”Ibu, anak-anak ini semua yatim piatu. Mereka saya ajak untuk tinggal di sini supaya mereka bisa merasakan kasih sayang dan semangat untuk terus hidup. Saya dan orang tua saya berusaha menghidupi mereka dan menyekolahkan mereka. Bila ibu-ibu dan kakak tak keberatan, kalian pun boleh tinggal di sini,” tawarnya lembut.

Sang ratu tak kuasa menahan haru dan segera memerintahkan Godda untuk mengembalikan rupa mereka. Betapa terkejutnya Cinta, kedua orang tuanya dan anak-anak yang lain. Sang Ratu segera menceritakan apa gerangan yang terjadi dan dia meminta kesediaan Cinta untuk mau menjadi pendamping putranya yang tampaknya sudah jatuh hati dengan si anak tengah itu.

Akhirnya Cinta pun bersedia menjadi istri Pangeran Arthur. Penduduk negeri berbahagia karena Pangeran mereka mendapatkan seorang pendamping yang berhati emas. Cinta hidup berbahagia bersama suaminya dan memiliki anak-anak yang berhati emas pula seperti dirinya.


PEMILIHAN PUTRI BUNGA

Siang itu terdengar suara begitu riuh di taman bunga. Oh…rupanya sedang dilangsungkan pemilihan putri bunga. Lihat saja pesertanya tampil secantik mungkin. Ada Anggi bunga Anggrek, Rosa bunga Mawar, Mari bunga Matahari, Yasmin bunga Melati dan bunga-bunga lain yang tak kalah cantik.

“Hmm….aku pasti menang,” seru Rosa, “Kelopakku merah merekah dan aku yang paling wangi!”

“Tapi batangmu berduri!” cetus Anggi, “tentunya akulah yang tercantik.”

“Sudahlah, buat apa kalian bertengkar,” sela Mari, “akulah yang paling pantas menjadi puteri bunga karena aku yang paling anggun dibandingkan kalian!”

Mari menegakkan batangnya hingga tampak makin tinggi menjulang.

“Tapi kau tak wangi,” dengus Rosa ketus.

“Hei…hei….koq jadi bertengkar sih?” celetuk Capi Capung yang sedari tadi menguping pertengkaran mereka, “tenang dong, lihatlah bunga-bunga lain begitu tenang menunggu hasil penjurian.”

“Hahaha…mereka sih tak bakalan menang, Capi!” Anggi tertawa sinis sambil memandang bunga-bunga lain di sekeliling taman.

“Kalau menurutmu, aku pasti menang kan?” tanya Anggi pada Capi..

“Nggak tahu deh,” ujar Capi lalu terbang meninggalkan Anggi dengan sebal. Huh…Anggi memang sombong sekali.

Dari jauh tampak para juri yang terdiri dari Kupi kupu-kupu, Kubi Kumbang dan Geri burung Gereja sedang kebingungan menentukan pemenangnya. Mereka terus berembug mencari bunga yang paling pantas menjadi puteri bunga. Para bunga dan hewan-hewan yang berada di dalam taman menunggu dengan tidak sabar.

“Wah….Ondi, sepertinya pengumuman pemenangnya masih lama,” ujar Muti Semut pada Ondi Semut,” sebaiknya kita menyapa para bunga untuk memberi semangat pada mereka yuk.”

“Ide bagus, Muti,” kata Ondi lalu mengajak teman-teman semutnya yang lain untuk ikut bersama mereka.

Para bunga tersenyum gembira ketika Ondi dan teman-temannya menyapa mereka. Namun…

“Aaawww……”Anggi menjerit ketika tampak banyak semut hitam sedang menaiki batangnya, “pergi kalian…!”

Para semut hitam kaget. Bergegas mereka meninggalkan Anggi yang tengah marah-marah. Huh…padahal Ondi dan teman-temannya cuma ingin memuji kecantikan Anggi saja.

“Yaa sudah, kita sapa Rosa saja,” ajak Ondi.

Tapi lagi-lagi para semut menghentikan langkah mereka ketika di depan mereka tampak Rosa sedang menggertak Lani Belalang yang tengah berputar-putar di dekat daun Rosa. Ugghh…ternyata hati Rosa tak selembut kelopaknya.

“Ondi, Lihatlah, Mari cantik juga loh, kita ke sana yuk,” usul Muti.

Ondi dan teman-temannya mulai merayap menghampiri Mari dan mengerubunginya. Tapi…oh….Mari malah berteriak-teriak dan meliuk-liukkan batangnya, dan…

“Tolong……” Muti yang sudah berada di tengah-tengah badan Mari menjerit ketika tubuh mungilnya terlempar.

Yasmin dan bunga-bunga lain yang berada di dekat Mari kaget. Yasmin segera meliukkan batangnya dengan cepat dan menangkap Muti dengan kelopaknya yang lembut. Hup…..Muti selamat. Para bunga menghembuskan nafas lega.

“Terima kasih, Yasmin,” bisik Muti pelan.

“Lain kali hati-hati ya, Muti,” nasihat Yasmin.

Yasmin lalu menuntun Muti menuruni batangnya. Ondi dan teman-temannya sudah menunggu di bawah.

“Dagh…Yasmin,” seru ondi dan teman-temannya lalu pergi diikuti tatapan lega bunga-bunga lain. Cuma Mari, Anggi dan Rosa yang tampak senang melihat mereka pergi.

Selang beberapa waktu kemudian, terdengar suara lantang Geri berseru. Wah….rupanya pengumuman akan dimulai.

“Teman-teman, kita telah menentukan puteri bunganya. Puteri bunga yang kita pilih tentu saja cantik tapi bukan hanya kecantikan luar saja yang menjadi criteria kita,” seru Geri membuat semua yang hadir tampak menyimak dengan antusias.

“Dia cantik luar dalam. Bentuknya memang kecil. Tapi kesederhanaan dan kelebutannya telah membuatnya istimewa. Puteri bunganya adalah….Yasmin!” Lanjut Geri.

Semua yang ada di taman bersorak dan bertepuk tangan gembira. Para bunga melambaikan tangan memberi selamat pada Yasmin. Anggi, Mari dan Rosa menampakkan muka pucat karena kecewa.

Kupi mengalungkan medali bunga pada Yasmin, “selamat ya Yasmin, kau cantik, baik dan wangi, pantas sekali menjadi puteri bunga.”
Yasmin tersenyum dan tersipu malu karena bahagia.

ZERRA YANG USIL

”Buk...” Punggung Gaga Gajah terkena bola lemparan Lili Kelinci.

”Aduh.....maaf ya Gaga, aku tidak sengaja,” Lili meminta maaf.

”Haha....aku yang salah melintas di depan kalian,” kata Gaga, ”aku ikut main dong, boleh tidak?”

”Tentu saja boleh, Gaga,” seru Ruri Rusa.

Seru sekali permainan bola Gaga, Lili dan Ruri. Gaga hebat sekali, setiap lemparan bola ke arahnya selalu berhasil ditangkap dengan belalainya. Ruri jago sekali mengejar bola, tidak sekalipun bola luput dari kejarannya. Tapi Lili Kelinci juga cerdik, pandai sekali dia mengecohkan Gaga dan Ruri sehingga kedua temannya pun harus lebih sigap dan jeli melihat arah lemparan bola dari Lili.

Dari balik pohon tampak Zerra Jerapah mengamati permainan bola Gaga, Lili dan Ruri. Sebenarnya Zerra ingin sekali ikut bermain bola tapi dia takut kalau teman-temannya itu menolak mengajaknya main. Dulu Zerra pernah bermain dengan mereka tapi dasar Zerra, dengan tubuhnya yang sangat tinggi itu, Zerra suka seenaknya melempar bola ke arah teman-temannya. Akibatnya tubuh teman-temannya yang lebih kecil seperti Lili dan Ruri sering terkena lemparan bola keras dari Zerra. Sejak itu Zerra tidak pernah diajak main lagi oleh teman-temannya.

Hmm...tiba-tiba muncul ide nakal bermain-main di kepala Zerra. Zerra memang anak jerapah yang usil. Sudah banyak teman-temannya yang diusili oleh Zerra. Dengan tersenyum-senyum Zerra melangkah menuju ke arah Gaga, Lili dan Ruri.

”Teman-teman, ayo kita lekas pergi dari sini. Aku melihat ada pemburu yang menuju ke sini,” seru Zerra, ”Cepat lah lari , Gaga, Lili, Ruri!.”

Gaga, Lili dan Ruri panik. Mereka berhenti bermain bola.

”Oh....Terima kasih pemberitahuanmu, Zerra,” kata Gaga cepat, ”ayo Lili, Ruri, kita harus bersembunyi!”

Dengan cepat Gaga, Lili dan Ruri berlari mencari tempat persembunyian yang aman. Muka Lili terlihat pucat pasi menahan takut. Tentu saja, kalau saja Zerra tidak memberi tahu mereka, mereka pasti sudah ditangkap oleh pemburu itu.

Tapi loh....kok Zerra tida lari seperti mereka malah tertawa terpingkal-pingkal melihat Gaga, Lili dan Ruri lari tunggang langgang. Lehernya sampai terguncang-guncang karena tertawa yang terus-menerus.

Oh...sadarlah Gaga, Lili dan Ruri kalau Zerra mempermainkan mereka. Dengan geram, Gaga, Lili dan Ruri mendatangi Zerra yang masih tertawa-tawa kencang.
”Kau ini sungguh usil, Zerra,” kata Lili marah.

”Kau pikir karena tubuhmu lebih tinggi dari kami, kau bisa mempermainkan kami. Becandamu keterlaluan deh, Zerra!” Seru Ruri.

”Ah...kalian saja yang terlalu cepat panik,” tukas Zerra sambil tersenyum mengejek lalu berlalu meninggalkan Ruri, Lili dan Gaga.

Sore itu Zerra sedang berjalan-jalan sendirian. Tentu saja sendirian karena tidak ada teman lagi yang mau bermain dengan Zerra karena takut diusili oleh Zerra. Dalam hati Zerra merasa kesepian. Dari kejauhan tampak olehnya Gaga sedang bermain bola dengan Lili. Hmm.... Zerra iri sekali melihat keakraban mereka.

Tiba-tiba dari balik sesemakan tampak Ruri berlari kencang menuju ke arah Lili dan Gaga. Mereka berbicara sebentar kemudian lari ke arah Zerra.

”Ayo Zerra, cepat lari dari sini, ada pemburu yang sedang berjalan ke arah sini,” seru Ruri memberi tahu Zerra.

”Cepat, Zerra, kita mesti bersembunyi,” ajak Lili dan Gaga.

Zerra memandang Ruri, Lili dan Gaga dengan tertawa kecil. Teringat olehnya bagaimana dia membohongi ketiga temannya itu. Hmm.....tentu saja, kali ini mereka sedang berniat membalas ulahnya kemarin.

”Kalian kira aku sebodoh kalian yang gampang ditipu,” tukas Zerra.

”Apa maksudmu, Zerra?” seru Gaga, ”Ya sudah, mari teman-teman kita tinggalkan saja Zerra sendiri.”

Gaga, Ruri dan Lili berlari meninggalkan Zerra yang menyeringai mengejek ke arah mereka.

”Mereka pikir bisa mengusili aku,” pikir Zerra dan melanjutkan jalan-jalannya. ”Sore begini indah, paling enak buat tidur-tiduran.”

Zerra baru saja mengambil posisi yang enak buat bermalas-malasan ketika matanya menangkap sesosok pemburu yang tengah berjalan menuju ke arahnya.

”Gawaat, ternyata meraka benar,” Zerra panik dan berbalik arah dan lari tunggang langgang.

Zerra berlari terus dan semakin jauh. Nafasnya memburu. Karena kecapaian, Zerra tidak menyadari ada dahan pohon di depannya. Dan....Brukkk! Leher Zerra menabrak dahan pohon dan Zerra terjatuh.

”Aduh.....”seru Zerra kesakitan.

Rupanya Gaga, Lili dan Ruri melihat kejadian yang menimpa Zerra. Tak urung mereka tertawa geli.

”Haha....Zerra, makanya kalau diberi tahu harus percaya dong,” ujar Gaga.

”Aku pikir kalian sedang ingin membalas perbuatanku kemarin,” kata Zerra malu.

”Aduh..Zerra, kita sih tak pernah usil seperti kamu,” cetus Lili.

Zerra cuma tersipu malu dan mukanya tampak meringis menahan rasa sakit di lehernya.


Wednesday, February 28, 2007

YUK JADI DETEKTIF

SERIAL DETEKTIF KEMBAR


MISTERI RUMAH BERHANTU


Siang itu, si kembar, Yudha dan Nadine bersama ketiga orang teman, Ayonk, Noval dan Ferdy sedang bermain di rumah Icha, tetangga mereka. Sedari tadi mereka seru sekali membahas tentang rumah kosong yang berhantu. Rumah kosong itu letaknya satu blok dari rumah si kembar. Rumah si kembar terletak di blok X sedangkan rumah yang sedang jadi bahan obrolan seru berada di blok Y.

“Masa sih ada hantu di sana?” tanya Icha sambil merapatkan badannya mendekati Nadine.

“Benar, bang Ujo yang bercerita pada aku dan Noval kemarin sore,” ujar Ferdy.

“Iya, anak-anak di blok Y sudah tahu semua,” tambah Noval.

“Rumah kosong yang kalian maksud yang mana sih?” tanya Nadine bingung. Maklumlah, si kembar memang penghuni baru dan baru tiga bulan mereka menempati rumah mereka di sini.

“Itu loh rumah yang letaknya paling ujung di blok Y,” Noval menjelaskan, “kalau kalian ingin tahu, kita ke sana yuk.”

“Waduh….jangan! masa kalian tidak takut sih?” Ayonk ketakutan.

“Kalau siang hari begini, hantunya nggak ada,” ujar Ferdy, “pada mau ke sana nggak?”

“Aku penasaran deh, kita ke sana yuk, Nad,” ajak Yudha pada kembarannya.

Nadine tampak ragu apalagi kedua temannya, Icha dan Ayonk menolak ikut pergi ke rumah kosong itu. Anak perempuan manis berambut sebahu ini menoleh pada Yudha, meminta pendapat pada kembarannya.

“Tenang, kita kan nggak masuk sampai ke dalam rumahnya, kita lihat dari depan rumahnya saja deh,” ujar Yudha.

Akhirnya bersama Ferdy dan Noval, si kembar mendatangi rumah kosong yang katanya berhantu. Hih….rumah itu tampak sudah tua, dindingnya kusam dengan separoh gentingnya sudah tidak ada. Rumput-rumput dan tanaman liar tampak menyesaki halaman rumah yang tidak seberapa luas dan mulai merambati dinding yang catnya sudah mengelupas. Sepertinya rumah yang sudah kehilangan daun pintu depan dan jendela-jendelanya sebentar lagi pasti roboh.

“Lihatlah, menyeramkan bukan?” desis Ferdy.

“Ada yang berani masuk ke dalam?” tanya Noval.

Tapi tiba-tiba terdengar suara gaduh dari dalam rumah. Si kembar dan dua temannya tampak melongo dengan muka pucat.

“Lariii………itu hantunya…..”jerit Noval langsung lari terbirit-birit meninggalkan teman-temannya. Si kembar dan Ferdy saling pandang dengan mimik ketakutan sebelum ikut lari menyusul Noval meninggalkan rumah berhantu itu.

Cerita tentang si kembar dan teman-temannya bertemu hantu di rumah kosong telah tersebar luas.

“Memangnya kalian melihat hantu itu?” tanya Saski, kakak perempuan satu-satunya si kembar yang sudah duduk di kelas enam. Sore itu mereka sedang duduk di teras depan.

“Nggak kak, cerita itu dibumbui oleh Ferdy dan Noval saja,” ujar Nadine tak suka.

“Tapi bang Ujo sudah pernah melihatnya,” ujar Yudha, “Nad, kita selidiki nanti malam yuk,” desis Yudha pelan ke telinga Nadine, takut kedengaran oleh Saski.

“Hih…sekali ini aku nggak ikutan Yud, ngeri,” bisik Nadine.

“Eh, itu bang Ujo,” seru Saski, “bang Ujo, sini!”

Bang Ujo, penjaga malam komplek, tampak berjalan mendatangi mereka.
“Ada apa?” tanya bang Ujo, “oh ya….kalian benar melihat hantu tadi siang?” Bang Ujo tampak antusias.

“Ah…ceritanya tidak seperti itu,” ujar Yudha, “bang Ujo sendiri katanya pernah melihat hantu di rumah kosong itu, tampangnya bagaimana bang?”

Bang Ujo lalu mengambil duduk di lantai dan bersandar di pilar,” iya, bang Ujo sendiri selalu bergidik kalau mengingatnya. Setiap malam abang kan selalu berkeliling di komplek kita. Nah, suatu kali, ketika melewati rumah kosong itu, abang curiga karena tampak bayangan berkelebat di dalam rumah itu. Abang segera masuk dan memeriksa sampai ke ruang bagian dalam. Tiba-tiba bang Ujo mendengar suara pintu depan diketuk tiga kali. Tadinya abang tak percaya, tapi ketukan itu terdengar berkali-kali dan ketika abang membuka pintu depan, tampak hantu yang sangat menakutkan berdiri di depan abang. Abang lalu lari secepatnya dari sana,” bang Ujo tampak semangat sekali bercerita.

“Hih…..seram sekali sih ceritanya,” ujar Nadine lalu menggeserkan duduknya mendekat Saski.

Tapi Yudha tampak tersenyum-senyum melihat bang Ujo.

“Kamu kenapa? Memangnya tidak takut?’ tanya bang Ujo heran, biasanya anak-anak akan sangat ketakutan setelah mendengar ceritanya yang seram itu tapi kali ini anak laki-laki di depannya ini malah terkekeh seperti ini.

“Haha…..aku tahu kalau bang Ujo bohong!” cetus Yudha dengan muka geli.

“Maksud kamu?” bang Ujo kaget melihat reaksi Yudha.

“Ngaku saja deh bang, abang bohong kan?” desak Yudha lagi, “Kalau bang Ujo nggak ngaku, kita akan lapori bang Ujo ke Pak RT kalau bang UJo telah mengarang cerita bohong dan membuat takut anak-anak di sini!”

Bang Ujo tampak pucat mendengar kata-kata Yudha. Ditatapnya wajah anak lelaki yang masih cengar-cengir melihatnya. Saski dan Nadine pun ikut bingung.

“Udah deh, kita nggak akan melapor, tapi bang Ujo ngaku saja, hayooo….”tambah Nadine ikutan padahal dia sendiri masih belum mengerti apa yang ada dalam pikiran Yudha.

“Iya deh….bang Ujo ngaku,” ujar bang Ujo mulai tertawa,” itu memang akal-akalan bang Ujo saja. Tapi ini demi keamanan anak-anak di sini kok.”

“Maksud bang Ujo?” tanya Saski bingung.

“Kalian tahu kan, bagaimana kondisi rumah kosong itu? Genting-genting dan atapnya bisa jatuh kapan saja. Nah itu sangat berbahaya bila ada yang memasuki rumah itu. Bang Ujo perhatikan rumah itu sering digunakan sebagai tempat main petak umpet anak-anak di sini,” jelas bang Ujo.

Yudha, Nadine dan Saski jadi melongo mendengar cerita bang Ujo.

“Oh…jadi suara berisik yang kita dengar itu bersumber dari atap atau genting yang jatuh ya?” cetus Nadine geli.

“Tapi bang Ujo harus menceritakan kebenaran ini dengan anak-anak di sini, ”kata Yudha, “bang Ujo telah membuat anak-anak pada ketakutan

“Iya deh…janji, tapi…kamu koq bisa tahu sich kalau bang Ujo bohong?” tanya bang Ujo.

“Hehe….. bang Ujo penasaran ya?” tanyaYudha terkekeh geli.

Tentu saja bukan hanya bang Ujo yang penasaran, tapi Nadine dan Saski pun ikut bingung. Yudha masih ada terpingkal-pingkal sebelum menjelaskan pada bang Ujo dan kedua saudaranya apa yang menyebabkan dai tahu kalau selama ini cerita bang Ujo itu adalah bohong belaka.


Jawabannya :

Sebelum bang Ujo bercerita, Yudha telah melihat bagaimana kondisi rumah tersebut. Rumah kosong itu sudah kehilangan dauh pintu depannya. Lalu bagaimana mungkin ada hantu mengetuk pintu depan berkali-kali dan bang Ujo melihat hantu berdiri di depannya setelah pintu depan dibuka olehnya.
Ada dua kesalahan :mengetuk pintu dan membuka pintu depan!

YUK JADI DETEKTIF

SERIAL DETEKTIF KEMBAR

MISTERI POT BUNGA YANG PECAH


Film kartun Detektif Conan baru saja mulai di layar televisi ketika terdengar teriakan tante Maya dari teras rumah. Nadine, Yudha dan Audi segera berhamburan keluar rumah. Tampak oleh mereka tante Maya sedang berjongkok di depan pot-pot bunga milik oma.

“Ada apa, tante?” tanya Nadine menghampiri tante Maya.

“Kalian tahu siapa yang memecahkan pot bunga ini?” tante Maya berdiri dan berbalik menghadap ke arah ketiga keponakannya.

Nadine dan saudara-saudaranya terkejut mendapati sebuah pot bunga tampak tergeletak pecah dengan tanah hitam mengotori lantai keramik yang putih.

“Nadine nggak tahu, tante,” kata Nadine diikuti anggukan Yudha dan Audi.

“Wah…kita harus menyelediki ini, Nad,” bisik Yudha.

Audi tertawa, “aduh….para detektif cilik ini, paling nggak bisa diam kalau ada yang harus diselidiki.”

Nadine dan Yudha tertawa. Hari Minggu ini mereka sedang menginap di rumah oma bersama Audi, sepupu mereka. Oma sedang pergi keluar kota dan Tante Maya lah yang bertanggung jawab untuk menjaga rumah dan keponakan-keponakannya. Mendengar kata-kata Audi, tante Maya menatap mereka bingung.

“Menyelidiki apa?” tanya tante Maya.

“Siapa yang memecahkan pot bunga oma ini, tante,” jawab Yudha.

“Yah sudah, tapi sebelumnya kalian bantu tante membersihkan lantai ini ya,” ujar tante Maya disambut anggukan ketiga keponakannya itu.

Sorenya, Yudha dan Nadine asyik mencatat hal-hal penting di buku saku mereka masing-masing. Begini ini isi catatan mereka : Ada delapan orang yang menginap di rumah oma dari hari Sabtu sore sampai Minggu pagi. Tante Maya, Nadine, Yudha, Audi, Bimo, Gilang, mbak Ipah dan Pak Karyo.

“Kita harus menanyai mereka satu persatu,” kata Yudha, “tentu saja kecuali tante Maya dan kita bertiga.”

Audi tertawa melihat gaya kedua sepupunya yang bergaya seperti detektif conan saja. Tapi tak urung dia ikut semangat.

Akhirnya mulailah mereka menanyai satu persatu. Pak Karyo, sopir oma, sampai terpingkal-pingkal melihat gaya mereka. Sedangkan mbak Ipah malah ketakutan. Nadine sampai harus membujuk mbak Ipah kalau mereka bukan menuduh mbak Ipah yang memecahkan pot bunga oma tapi hanya ingin mencari tahu saja. Bimo dan Gilang, sepupu-sepupu mereka, anak-anaknya tante Maya cuma tersenyum kecut melihat tingkah Yudha dan Nadine.

“Nah, sekarang kita harus mencermati apa yang telah kita catat,” ujar Yudha pada Nadine dan Audi. Yudha lalu mulai menyusun hasil penyelidikan mereka dan hasilnya begini :

Pertanyaan yang diajukan oleh Yudha dan Nadine :
Tahukah (mbak Ipah, Pak Karyo, Bimo, Gilang) siapa yang memecahkan pot bunga oma?
Jawaban mereka ketika ditanya :

Mbak Ipah :

“Aduh, mbak tidak tahu, kemarin sore sampai malam mbak sibuk di dapur dan subuh tadi ketika mbak membersihkan teras, pot itu masih belum pecah.”

Pak Karyo :

“Walah… dari semalam sampai pagi ini, Bapak kan berdiam diri saja di kamar samping rumah dan tidak pernah main ke teras depan.”

Bimo :

“Nggak tahu deh! Kan dari semalam aku main play station dan pagi ini sampai siang tadi aku main sepeda. Lagian pot bunga oma kan banyak, pecah satu tidak mengapa kan?”

Gilang :

“Aku sich dari semalam sampai siang ini belum pernah keluar rumah kan? Kalian lihat sendiri aku asyik baca komi.. Udah deh, oma nggak bakal marahlah, kan bunga anggreknya bisa dipindahkan ke pot lain!”

Nadine membaca ulang catatan yang telah disusun oleh Yudha itu. Audi pun tertarik sekali memperhatikan penyelidikan ala sepupu-sepunya itu.

“Nah….di dalam catatan ini kita dapat mengetahui alibi masing-masing,” ujar Yudha.

“Apa itu alibi?” tanya Audi bingung.

“Alibi adalah alasan seseorang tidak berada di tempat kejadian pada saat peristiwa terjadi,” jelas Yudha.

Audi mengangguk mengerti mendengar penjelasan Yudha.

“Yud, sepertinya aku tahu siapa orangnya,” desis Nadine.

“Siapa?” tanya Audi terkejut.

“Gilang,” ujar Nadine cepat.

Yudha tampak berpikir sebentar dan mengangguk-anggukan kepalanya,” Hebat Nad, kau tahu lebih dulu dari aku,” puji Yudha, “Yah…Gilanglah yang memecahkan pot bunga oma.”

“Ayo kita temui Gilang sekarang,” ujar Nadine.

“Hei…tapi jelaskan dulu bagaimana kalian tahu kalau Gilanglah pelakunya?” tanya Audi bingung.

Dan setelah dijelaskan oleh Nadine, Audi mengacungkan dua jempolnya pada Yudha dan Nadine.

Nah, dari mana Nadine dan Yudha bisa menyimpulkan kalau Gilanglah yang memecahkan pot bunga oma?

Jawaban :

Dari jawaban Gilang yang mengatakan : ….. kan bunga anggreknya bisa dipindahkan ke pot lain!” Nah, bagaimana Gilang tahu kalau pot bunga yang pecah adalah pot bunga anggrek, padahal Nadine dan Yudha tidak menyebutkan nama bunganya. Sedangkan Gilang sendiri yang meyakinkan mereka kalau dari malam sampai siang, dia asyik membaca komik.





YUK JADI DETEKTIF

SERIAL DETEKTIF KEMBAR

MISTERI HILANGNYA KASET PLAY STATION
Yudha sedang membaca buku cerita detektif yang baru dipinjamnya dari Aldi, teman sekelasnya, ketika Yoga masuk ke kamarnya dengan nafas tersengal-sengal. Dibelakangnya tampak Nadine mengekori Yoga masuk.

“Ada apa?” tanya Yudha bingung..

“Gawat, Yud,” ujar sepupunya sambil mengatur nafasnya.

Yudha membiarkan Yoga tenang dulu. Ditutupnya buku cerita yang baru dua puluh halaman dibacanya.

“Yoga dituduh mencuri kaset play stationnya Wawan,” Nadine, kembarannya Yudha membantu Yoga menjelaskan.

Yudha mengernyitkan dahinya. Dia kenal betul siapa sepupunya ini. Yoga memang hobby sekali main play station, tapi masa sih Yoga mencuri?

“Siapa yang menuduh kamu?” tanya Yudha mulai beraksi seperti seorang detektif. Anak laki-laki berusia sembilan tahun ini memang suka sekali membaca detektif dan bercita-cita menjadi seorang detektif.

“Rio dan Bagus,” jawab Yoga setelah agak tenang, “kemarin kami bertiga main play station di kamar Wawan sampai sore. Tapi tak satu pun dari kami yang meminjam kaset play stationnya Wawan. Tiba-tiba siang tadi di sekolah, Wawan menanyai aku, Rio dan Bagus apakah kami meminjam kaset Sims 2 Pets nya. Katanya kaset itu hilang.”

Yudha manggut-manggut,” begini saja, besok kamu ajak Rio dan Bagus untuk berkumpul di rumah Wawan. Aku dan Nadine ikut pergi bersama kamu, mudah-mudahan masalah ini bisa kita pecahkan.”

Sore ini Yudha, Nadine dan Yoga sudah berkumpul di teras rumah Wawan. Rio dan Bagus belum tampak batang hidungnya. Sambil menunggu kedatangan Bagus dan Rio, Yudha dan Nadine mengajak Wawan ngobrol. Yoga cuma diam saja, dia duduk di kursi di pojok teras dengan sebal. Sepertinya Wawan percaya dengan tuduhan Rio dan Bagus kalau Yoga yang mencuri kaset play stationnya. Sedari tadi Wawan tidak menyapa Yoga.

“Wan, sejak kapan, kau tahu kalau kaset play station mu hilang?” tanya Yudha.

“Kemarin pagi ketika adikku mau menyetel kaset itu,” ujar Wawan, “adikku jadi marah padaku karena telah menghilangkan kaset itu, padahal kami belum pernah memainkannya satu kalipu.”

“Lalu sore ketika Yoga dan teman-temanmu datang main play station, kalian tidak menyetelnya?” tanya Nadine, dia mengerti kekesalan Wawan.

“Hari keburu malam ketika kami baru mau menyetelnya, yah….nggak jadi!” cetus Wawan manyun.

“Oh iya koq bisanya Yoga yang dituduh mencuri kasetmu?”

“Oh… Rio elihat kalau Yoga yang terakhir memegang kaset itu sebelum mereka pulang.”

Nadine dan Yudha tampak berpikir. Selang kemudian dua orang anak laki-laki masuk ke halaman rumah Wawan.

“Wah..sudah kumpul,” kata Bagus yang memakai kaca mata.

“Sebenarnya ada apa sih kok kami dipanggil?” tanya Rio.

“Begini, Yudha dan Nadine ingin membantu menemukan kasetku yang hilang itu.”

Bagus dan Rio menunjukkan muka tak suka.

“Yaa… siapa tahu justru Wawan yang teledor dan lupa tempat menyimpannya,” kata Nadine mencoba mencairkan suasana yang panas.

“Teman-teman, kita ngobrol di dalam yuk,” ajak Wawan cepat.

Yudha, Nadine dan yang lainnya pun masuk ke ruang tamu yang nyaman. Suasanapun jadi agak tenang. Mereka lalu duduk di sofa yang empuk mengelilingi sebuah meja kaca kecil.

“Rio, katanya kamu melihat Yoga yang terakhir memegang kasetnya Wawan?” tanya Yudha memecah keheningan.

“Benar, ketika kami akan pulang, Yoga tampak memegang dan mengamati kaset itu,” ujar Rio.

“Tapi itu tidak berarti aku pencurinya!” hardik Yoga marah, “mungkin kau sendiri yang mengambilnya, atau Bagus!”

Karena namanya disebut-sebut, Bagus pun jadi emosi. Padahal sedari tadi dia diam seribu bahasa dan bersikap acuh saja.

“Enak saja! Kau pikir aku mau saja mencuri kaset rusak kayak gitu!” seru Bagus. Mukanya merah karena marah.

“Apa lagi aku, koleksi kaset play station ku banyak, tahu!” tukas Rio.

“Habisnya kalian menuduh aku sih!” cetus Yoga kesal.

“Sudah…sudah…..kalau kalian bertengkar begini, lebih baik kalian pulang saja deh. Biarin saja lah kasetku hilang dari pada suasana nggak enak begini,” tegur Wawan.

Yoga, Rio dan Bagas langsung diam dengan muka tegang. Yudha dan Nadine tampak manggut-manggut mengamati pertengkaran Yoga dan teman-temannya itu. Tiba-tiba Yudha teringat sesuatu. Otaknya segera menghubungkan puzzle puzzle yang berserakan di ruang pikirnya.

“Yap…”Yudha menjentikkan jarinya. Segera ditariknya lengan Nadine dan Wawan wawan ke luar rumah. Mereka tampak berbisik-bisik.

“Aku sudah tahu pencurinya,” bisik Nadine serta merta. Rupanya dari tadi dia pun berpikir dan mengambil kesimpulan.

“Justru itu, aku pun sudah tahu orangnya,” ujar Yudha pelan,” kami akan memberitahumu nanti melalui telepon. Sekarang kau bilang deh pada mereka, kalau sepertinya kau sendiri yang lupa menyimpan kaset itu. Yah…untuk mencegah pertengkaran lebih panjang!”

Yudha . Nadine dan Wawan lalu masuk kembali ke dalam ruang tamu.

“Teman-teman, jangan bertengkar lagi deh! Sepertinya aku yang lupa menyimpannya, tapi entah di mana,” ujar Wawan, “sekarang kalian baikan dong…”

Setelah dengan ogah-ogahan, Rio, Bagus dan Yoga berdamai dan bersalaman, semuapun pamit pulang pada Wawan. Yoga ikut Nadine dan Yudha ke rumah sepupunya itu. Sebegitu sampai di rumah, Yudha langsung menelepon Wawan yang memang telah menunggu teleponennya dan memberi tahu siapa yang mencuri kaset play station miliknya itu. Wawan kaget ketika Yudha memberitahunya.

“Bagus yang mencuri? Dari mana kalian tahu?”tanya Wawan.

“Begini…”jelas Yudha yang tak urung membuat Yoga pun takjub.

Nah….dari mana Yudha dan Nadine tahu kalau Baguslah pencurinya?
Silahkan pikirkan sebelum melihat jawaban di bawah ini yaa…
JAWABAN :
Bagas sempat berseru : Enak saja! Kau pikir aku mau saja mencuri kaset rusak kayak gitu!
Nah, dari mana Bagus tahu kalau kaset itu rusak padahal kaset itu belum sempat mereka putar di rumah Wawan.







Monday, February 26, 2007

KAOS KAKI KEBERUNTUNGAN

”Uugg sebal, sepertinya aku memang tidak berbakat jadi pemain badminton,” keluh Dodi sambil masuk ke rumah. Arman, kakak Dodi yang sedang belajar Matematika untuk ulangan harian besok menoleh.

”Kamu ini, masuk rumah langsung ngomel-ngomel, kenapa sih?” tanya Arman.

Setelah melepaskan kaos kaki dan sepatu bolanya, Dodi merebahkan tubuhnya di atas permadani di depan televisi dan mulai memencet-mencet tombol remote.

”Aduh....ditanya kok malah nonton tv. Nonton tv nya nanti saja dong, kakak kan sedang belajar,” seru Arman, sedikit kesal melihat kelakukan adiknya yang kadang seenaknya saja.

”Tadi di sekolah pas latihan badminton, Dodi kalah melawan Yudha, kak” ujar Dodi manyun.

”Yah....kalau lomba kan pasti ada yang menang dan kalah dong,” hibur Arman.

”Tapi kan Dodi ingin sekali menjadi atlit badminton kak. Dodi takut kalau Pak Edo tidak akan mengajak Dodi untuk ikut lomba bulan depan,” cetus Dodi murung, ”Padahal bulan depan kan lomba badminton antar Sekolah Dasar.”

”Lho kan masih ada waktu satu bulan untuk berlatih,” Arman mengingatkan Dodi.

”Yaa....Dodi sudah putus asa ah,” ujar Dodi malas.

Arman Cuma geleng-geleng kepala melihat tingkah laku Dodi. Arman kenal betul sifat Dodi. Dodi sebenarnya jago badminton. Tapi Dodi mudah sekali patah semangat dan kalau sudah begitu, dia jadi malas latihan dan menyerah sebelum lomba dimulai.

”Dod, kamu ingat tidak ketika team sepak bola kakak menang?” tanya Arman.

”Ingat dong, dan kak Arman mendapat penghargaan sebagai pencetak gol terbanyak,” kata Dodi sambil mengernyitkan dahinya, bingung, ”memangnya kenapa kak?”

”Kakak ada sebuah rahasia tapi kamu jangan bilang sama siapa pun juga ya,” bisik kak Arman pelan, takut kalau ibu yang sedang memasak di dapur, mencuri dengar.

”Iya janji!” sahut Dodi tak sabar.

”Kakak bisa mencetak gol terbanyak waktu itu karena kaos kaki yang kakak pakai,” ujar Arman.

”Hah...maksud kak Arman gimana?” tanya Dodi tambah bingung.

”Dod, tahu nggak, kaos kaki itu kakak beli tak sengaja di pasar malam. Ternyata yang menjual kaos kaki itu adalah orang pintar. Orang itu sudah memantra-mantrai kaos kaki itu dan siapa pun yang memakainya dia akan menang dalam setiap lomba mana pun,” kata kak Arman.

”Kok kakak nggak bilang-bilang sih kak?” tanya Dodi, ”Dodi juga mau beli kak.”

”Penjualnya sudah tidak ada lagi sekarang, sudah keluar kota. Tapi kakak bisa meminjamkan kamu asal kamu janji menjaga kaos kaki itu jangan sampai robek, janji?” tanya kak Arman.

Dodi mengangguk mantap.

”Dan jangan buka rahasia kita ya,” tegas Arman lagi. ”Oh iya ada lagi syaratnya Dod, khasiat kaos kaki itu akan menjadi ampuh bila telah kamu pakai lebih dari dua belas kali.”

Dodi mengacungkan jempolnya tanda setuju. Ah...tidak sulit memenuhi syarat itu, bukankah dia bisa memakai kaos kaki itu setiap latihan. Dan dia akan berlatih terus supaya kaos kaki itu lebih ampuh khasiatnya. Hatinya gembira kini. Hoho....dengan kaos kaki keberuntungan kak Arman, dia pasti akan menjadi juara.

Sudah hampir sebulan ini Dodi rajin sekali latihan badminton. Sepulang sekolah dia selalu minta ditemani Arman sebagai lawan mainnya. Bahkan ibu dan ayah kebagian menjadi lawan mainnya ketika hari libur.

”Wah.....kamu pasti jadi juara, Dod,” puji ayah kagum melihat perkembangan permainan badminton Dodi.

”Iya dong, Dodi.....,” Dodi meringis sambil mengerdipkan sebelah matanya pada Arman yang pura-pura tidak melihat.

”Ayah, ibu dan kak Arman mesti datang ya besok minggu,” ujar Dodi berharap.

”Mudah-mudahan ayah dan ibu tidak ada urusan penting ya, Dod,” kata Ayah,” Yang penting kamu harus main yang terbaik ya, tidak usah pikirkan dulu soal kalah atau menang.”

Dodi mengangguk mendengar nasihat ayah. Tentu saja dia akan melakukan yang terbaik, bukankah kini ada kaos kaki keberuntungan yang akan membawanya menjadi sang juara.

Akhirnya lomba badminton antar sekolah berlangsung. Dodi tampil piawai di lapangan. Ayah, ibu dan Arman mengacungkan jempol setiap kali Dodi berhasil meraih angka. Dodi memang terlihat begitu percaya dirin. Pak Edo, guru olahraga di sekolahnya tak henti-hentinya bertepuk tangan menyemangatinya. Teman-temannya pun berteriak-teriak untuk kemenangan Dodi. Perjuangan Dodi tak sia-sia, dia menang sebagai juara pertama.

Ayah, ibu dan Arman tak henti-hentinya memuji permainan Dodi. Pun sampai di rumah ketika mereka sedang makan malam, topik permbicaraan selalu tentang kemenangan Dodi. Tapi muka Dodi tampak sedih.

”Kok yang menang malah murung?”tanya ibu.

”Seharusnya Dodi tidak menang bu, kalau bukan karena kaos kaki kak Arman. Ah, lebih baik kalah ya asalkan Dodi tidak curang,” ujar Dodi.

Ayah dan ibu tampak bingung. Kak Arman akhirnya menceritakan tentang kaos kaki keberuntungan pada ayah dan ibu. Dodi menekuk muka dengan sedih dan menunduk menghindari tatapan ayah dan ibu yang pasti marah padanya. Tapi tiba-tiba kak Arman tertawa terbahak-bahak membuat Dodi kaget.

”Hahahaa.....itu kan cuma akal-akalan Arman saja bu, kalau tidak dibohongin seperti itu, Dodi sudah putah semangat dan nggak percaya diri,” seru Arman geli.

”Jadi?” mata Dodi membulat.

”Iyalah, mana ada kaos kaki keberuntungan. Kaos kaki itu kan ibu yang beli,” ujar Arman sambil senyum-senyum.

”Hah....kak Arman tega banget sih,” kata Dodi kesal, ”Itu artinya Dodi memang menang karena usaha sendiri ya?”

Hahaha......ayah, ibu dan kak Arman tertawa diikuti tawa Dodi yang paling nyaring karena hatinya telah tenang dan lega. Ah...kak Arman memang ada-ada saja!


KEJUTAN UNTUK KOLI

Koli Keong sedang sedih. Sambil merapatkan badannya di akar pohon besar dia memandang sekelilingnya. Tampak olehnya teman-temannya, para penghuni kampung hewan, seperti Kiti kucing, Gagas Angsa, Gugi anjing, dan beberapa hewan lain sedang tertawa-tawa germbira.

”Asyik sekali loh tadi di kota,” seru Gugi anjing, ”aku melihat banyak sekali hal baru yang belum pernah aku lihat di sini.”

”Wah....kota memang ramai sekali ya Gugi,” kata Kiti Kucing, ”tapi di kota banyak sekali manusia dan aku tidak suka kalau harus tinggal di rumah-rumah besar mereka.”

”Enakan di sini ya, Kiti,” seru Gagas Angsa yang sedang asyik berenang di danau, ”aku tidak pernah ke kota tapi aku bisa membayangkannya.”

”Oh iya, di ujung danau ini ada taman yang indah loh. Kalian pasti belum pernah kesana,” tambah Gagas Angsa.

Semua hewan menggeleng dan menampakkan muka tertarik.

”Kita nanti ke piknik ke sana deh, tapi kalian lewat darat ya,” usul Gagas Angsa.
Semua mengangguk setuju kecuali Koli .

”Hei...Koli, kamu kok murung begitu, kenapa?” tanya Kiti Kucing.

”Aku juga kepingin sekali melihat kota dan taman yang indah seperti cerita kalian,” kata Koli, ” tapi bagaimana mungkin, jalanku pelan begini, mungkin berbulan-bulan aku bisa sampai ke sana.”

”Aduh...Koli, jangan sedih dong, kau kan bisa naik ke punggungku, jadi kita bisa sampai ke taman yang indah itu bersama-sama,” tawar Gagas Angsa.

”Aku pun bersedia menyediakan punggungku, Koli,” seru Lidi si Kelinci yang baru saja bergabung.

”Aku juga...”

”Aku juga...”

Semua hewan-hewan menawarkan diri untuk membantu Koli. Koli tersenyum berterima kasih pada mereka tapi hatinya tetap saja sedih.

”Uugg...untuk ke taman itu saja, aku pun harus tergantung pada mereka. Betapa aku ini memang mahluk yang paling merepotkan saja,” keluh Koli dalam hati.

Siang ini Koli sedang berjalan-jalan. Kampung hewan tampak sepi. Rupanya para penghuninya sedang sibuk di rumah masing-masing. Tentu saja, mereka kan akan sedang mempersiapkan bekal untuk piknik besok.

”Sepertinya cuma aku sendiri yang tidak sibuk,” kata Koli dalam hati, ”yah...aku tak yakin akan ikut piknik.”

Koli berjalan sambil menunduk. Hatinya masih sedih saja. Ketika melewati rumah Kiti Kucing, Koli mendengar suara ribut-ribut dari dalam rumah Kiti. Koli mendekat pelan-pelan dan mengetuk rumah Kiti Kucing.

”Eh...Koli,” ujar Kiti Kucing kaget.

”Aku mendengar suara ribut-ribut, aku khawatir sekali,” kata Koli.

Oo...rupanya Kiti kucing sedang beradu mulut dengan Tutu Kucing, adiknya. Mereka mempertengkari siapa yang harus mempersiapkan bekal piknik besok. Kiti Kucing menyuruh Tutu Kucing tapi Tutu Kucing tidak mau karena dia sedang mengantuk.

”Kiti, Tutu, kalau aku boleh tahu, siapa yang mendapatkan ikan ini?” tanya Koli
.
”Kiti,” kata Tutu Kucing, ”tapi itu memang sudah tugasnya, karena aku kebagian yang membersihkan rumah. Sekarang aku sudah mengantuk sekali, Koli. Tapi Kiti menyuruhku menyiapkan keranjang dan menyusun bekal untuk besok.”

”Begini saja, karena Tutu sudah kecapaian karena membersihkan rumah. Sepertinya bukan hal yang melelahkan menyusun ikan-ikan ini ke keranjang. Ya kan, Kity?” tanya Koli.

”Wah....keenakan Tutu dong, Koli,” sungut Kiti Kucing.

”Tapi besok dia yang kebagian membawa keranjang ini sampai ke taman karena tentunya Tutu sudah segar setelah bangun tidur besok. Bagaimana, Kiti, Tutu?” tanya Koli.

Kiti Kucing dan Tutu Kucing menangguk senang. Sekarang mereka tidak lagi bertengkar. Koli pun melanjutkan jalan-jalannya lagi. Ketika melewati rumah Yummy Ayam, tampak olehnya Yummy ayam sedang bersedih.

”Ada apa, Yummy?” tanya Koli.

”Aku sedih, Koli. Aku ingin sekali ikut piknik tapi aku kan tidak mungkin meninggalkan telur-telurku,” kata Yummy Ayam pelan.

”Jangan sedih dong, Yummy. Kupikir, piknik bisa kapan saja kan?” kata Koli
”telur-telurmu mesti kau jaga. Karena setelah anak-anakmu menetas dan menjadi besar, mereka lah yang akan menemanimu kemana kau suka, termasuk bila kau ingin piknik.”

”Kau benar, Koli, terima kasih ya,” ucap Yummy senang. Hatinya sudah tenang sekarang.

Koli pun melanjutkan jalan-jalannya. Hatinya pun senang karena bisa membantu teman-temannya memecahkan masalah mereka.

Gagas Angsa benar. Taman bunga seperti ceritanya itu memang sungguh indah. Beraneka bunga bermekaran dan mengeluarkan wangi semerbak. Kupi si kupu-kupu tampak menari-nari riang dengan teman-teman kupu-kupunya yang lain. Hewan-hewan yang lain juga gembira. Koli pun yang baru turun dari punggung Gagas Angsa terkagum-kagum melihat pemandangan yang baru baginya ini. Ketika mereka sedang asyik bermain, terdengar seruan Gugi.

”Teman-teman, hari ini selain kita bersenang-senang, akan diadakan pemilihan penasihat kampung hewan kita untuk mendampingi Kudi Kuda, pemimpin kampung kita,” seru Gugi.

Ohh...rupanya akan dipilih salah seekor dari mereka sebagai penasihat. Para hewan tampak berembuk.

”Bagaimana kalau Koli saja,” seru Kiti. Teringat olehnya bagaimana Koli telah membantunya menyelesaikan pertengkarannya dengan Tuti.

”Ya, betul,” kata Gagas Angsa. Gagas Angsa teringat cerita Yummy Ayam kemarin sore kepadanya tentang bagaimana nasihat Koli menenangkan hatinya.

Hewan-hewan lain juga setuju. Mereka tahu kalau Koli memang Keong yang bijaksana. Banyak yang sudah mendapat bantuan nasihat dan pemikiran dari Koli. Koli pun sangat terkejut. Selama ini dia memang senang sekali kalau bisa membantu teman-temannya tapi sungguh tak terbayangkan kalau teman-temannya memilihnya menjadi penasihat kampung hewan.

”Oh, ternyata aku pun masih dibutuhkan kalian, ” kata Koli tersipu malu.

”Tentu, kau memang pantas menjadi penasihat kami,” ujar Tuti Kucing.

”Hidup..Koli...” seru hewan-hewan lain dengan gembira.



LUKISAN UNTUK RAJA


Semenjak permaisurinya wafat tiga bulan yang lalu, Raja Wika selalu tampak berduka. Mukanya murung dan tidak bergairah. Pangeran Akhsa pun menjadi sangat sedih.

”Apa yang harus kita lakukan, paman Patih?” tanya Pangeran Akhsa pada Patih Gondana.

”Pangeran, apa sebaiknya kita pun meminta bantuan pada penduduk negeri ini?” Patih Gondana balik bertanya, ”mungkin ada yang bisa membantu menghilangkan kesedihan sang raja.”

”Laksanakanlah usulmu itu, paman!” perintah Pangeran Aksha, ”akan kuhadiahkan 100 keping uang emas bagi mereka yang berhasil membuat ayahanda gembira kembali.”

Akhirnya setelah Patih Gondana mengumumkan sayembara ke seluruh penjuru negeri, berbondong-bondonglah rakyat datang ke istana. Mereka pun tak urung menjadi sedih mengetahui keadaan raja mereka yang tadinya terkenal dengan keceriaan dan kebaikannya. Mereka berpikir keras mencari akal untuk mengembalikan keceriaan sang raja. Berbagai cara mereka lakukan. Ada yang mencoba melucu di depan sang raja, ada yang bernyanyi, menari dan lain-lain. Namun tak satu pun yang berhasil. Raja Wika tetap menekuk muka dan duduk termangu di kamarnya.

Pangeran Akhsa bertambah gundah,” apa lagi yang harus aku lakukan?” pikirnya putus asa. Tiba-tiba tampak seorang anak kecil datang menemuinya.

”Ampun pangeran, izinkan aku membantu sang raja,” ujar anak laki-laki itu.

”Apa yang bisa kau lakukan, adik kecil?’ tanya Pangeran Akhsa.

”Ketahuilah pangeran, beberapa waktu yang lalu, baginda raja telah memberi bantuan uang pada kami ketika ibu saya sakit hingga saya bisa membeli obat dan makanan untuk ibu saya. Ibu saya kini telah sehat dan kami merasa sangat berhutang budi. Betapa hamba dan ibu hamba ingin sekali membalas kebaikan sang raja. Namun kami tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya keinginan itu kami tuangkan dalam lukisan ini,” ujar anak kecil itu sambil membuka bungkusan benda besar yang di bawanya, ”hamba berharap lukisan kami ini dapat membuat raja kembali gembira.”

Pangeran Akhsa mengamati lukisan itu. Lukisan seorang raja persis sekali dengan raja Wika sedang duduk di singgasana dan dan tersenyum arif.

”Setiap kali kuas kami menyentuh kanvas, do’a kami selalu mengalir untuk kebahagiaan baginda raja,” lanjut anak kecil itu lalu mohon diri untuk pulang.

Sepeninggal anak kecil itu, masih dengan hati yang bimbang, pangeran Akhsa memerintahkan pelayan untuk memasang lukisan itu di kamar ayahnya.

”Aku tidak tahu apa itu akan berhasil,” gumam pangeran Akhsa, ”tapi setidaknya aku ingin menghargai jerih payah anak kecil dan ibunya itu. Semoga do’a mereka memberikan keajaiban untuk ayahanda.” do’a pangeran Akhsa.

Raja Wika tengah berbaring letih di tempat tidurnya. Badannya terasa sakit dan lemah. “lebih baik aku beristirahat dulu.,” gumam Raja Wika.

Baru saja Raja Wika ingin memejamkan matanya, tiba-tiba matanya terantuk lukisan di depannya.

“Siapa yang memasang lukisan ini di sini?”Raja Wika bingung.

Seperti ada kekuatan yang membuat Raja Wika bangkit untuk mengamati lukisan itu lebih dekat. Perlahan dirabanya lukisan yang entah mengapa menarik perhatiannya itu. Ajaib. Seolah ada hisapan kuat menyedot tubuhnya, Cuma dalam hitungan detik, raja Wika merasa tubuhnya tertarik masuk ke dalam lukisan. Tampak sebuah persimpangan jalan terpampang di depannya.

“Akan kemanakah ujung dua jalan ini? “pikir Raja Wika, ”hmm...akan aku coba menyusuri jalan sebelah kiri ini.”

Raja Wika mulai melangkah. Tampak negeri yang lengang dengan sebuah istana yang tidak terawat di tengah-tengah negeri terpampang jelas di depannya.

“Kenapa negeri ini begitu sepi?” tanya Raja Wika pada seorang lelaki tua yang sedang duduk termenung di bawah sebatang pohon,” cuma kau yang aku temui di sini.”

“Dulu aku raja di kerajaan ini. Tapi kesedihan yang berkepanjangan membuatku lupa akan kewajibanku sebagai seorang raja. Kerajaan kami diserang tanpa kami sanggup melawan. Anakku dan seluruh pengawalku ditawan. Rakyatku meninggalkan negeri ini dengan kesedihan. Hingga kini aku tak tahu nasib mereka,” ujar lelaki tua itu sambil terisak.

“Apa yang membuatmu bersedih?” tanya Raja Wika.

“Maaf saya tidak bisa memberi tahu anda. Pergilah dari sini. Saya do’akan semoga nasib anda tidak seperti nasib saya.” Kata lelaki tua itu lalu berlalu meninggalkan Raja Wika.

Dengan ragu, Raja Wika berbalik ke tempat semula dan mulai melangkahkan kakinya menyusuri jalan yang mengarah ke kanan. Kali ini ditapakinya kakinya dengan cepat. Kini tampak olehnya negeri yang indah dengan istana yang megah. Raja Wika mencoba masuk ke istana. Seorang raja dengan tersenyum ramah menyambutnya.

“Silahkan datang ke negeri kami, Raja Wika,” sambut sang raja di depannya.

“Negeri anda begitu indah dan anda begitu gembira. Sungguh menyenangkan rupanya kehidupan anda,” ujar raja Wika.

“Haha…tahukah anda, bukankah setiap orang tak luput dari masalah. Tapi untuk apa kita berlarut-larut dalam kesedihan. Masih banyak yang harus kita perhatikan. Ada rakyat yang mengharapkan perlindungan dari rajanya. Ada anak-anak yang butuh kasih sayang dari ayahandanya.” ujar raja di depannya dengan tertawa riang, “Semoga kegembiraan menyertaimu, raja Wika.”

Raja Wika tak bisa berkata-kata. Tiba-tiba dia teringat kerajaannya, anaknya, dan penduduk negeri yang dicintainya. Raja Wika segera mohon diri dan bergegas kembali ke jalan semula. Ketika Raja Wika sampai pada persimpangan jalan, angin berhembus pelan dan semakin lama semakin kencang menerpa tubuhnya. Tubuh Raja Wika dibawa berputar-putar di dalam gulungan angin yang kencang….dan..

“Bukk” Raja Wika terjatuh di tempat tidurnya.

“Apakah aku mimpi?” tanya Raja Wika bingung. Disekanya dahinya yang berkeringat,

“Ini pasti bukan mimpi, badanku sungguh letih seperti habis berjalan jauh,” gumam raja Wika sambil terpekur. Kejadian barusan masih sangat membekas. Teringat olehnya dua sosok raja seolah cerminan dirinya di masa mendatang. Tiba-tiba Raja Wika tersadar, betapa selama ini dia telah larut dalam kesendirian yang lama dan panjang.

“Kasihan anakku dan seluruh rakyatku, Aku harus bangkit dan keluar dari kesedihan ini ” janji Raja Wika dalam hati. Raja Wika keluar dari kamarnya dan duduk kembali ke singgasana dengan senyum yang mulai terkembang.

Begitulah, berangsur-angsur raja Wika kembali seperti sedia kala. Sorot mata dan senyumnya kini terlihat gembira. Dan cuma kepada putranyalah, raja Wika menceritakan pengalamannya itu. Pangeran Akhsa tentu saja sangat bersuka ria. Segera saja dia memerintahkan seluruh pengawal kerajaan untuk mencari anak kecil yang telah memberikan lukisan untuk ayahandanya. Tapi sampai berhari-hari, anak kecil itu tak jua ditemukan. Mungkin anak kecil itu telah pergi ke tempat yang sangat jauh dan tak ingin pangeran dan raja menemuinya.

Tentang lukisan ajaib itu, raja Wika tetap memasangnya terus di kamarnya. Walaupun setelah kejadian yang dialaminya itu, tak pernah lagi raja Wika mengalami kejadian serupa. Tapi lukisan itu tetap menjadi kenangan tersendiri bagi sang raja.